Program

RESPONSIF GENDER

Perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan- hambatan struktural dan kultural untuk mencapai kesetaraan gender. Diterbitkannya instruksi presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang ikut serta dalam pembangunan nasional maka telah banyak upaya yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Pengarusutamaan Gender muncul sebagai strategi untuk menjawab kesenjangan akses, partisipasi, control dan manfaat pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Kesenjangan gender merupakan akibat dari pembangunan yang netral gender dan bias gender, yang terjadi diantara pada suatu anggapan Ketika berbicara tentang masyarakat, berarti sudah mencakup perempuan dan laki-laki. Disisi lain, persoalan yang dihadapi dan pengalaman perempuan dan laki-laki dalam pemabngunan berbeda dan masing-masing memiliki kebutuhan yang spesifik sesuai dengan kepastiannya.
PUG di KLHK sebagai salah satu implementasi pengarusutamaan pemabngunan nasional sebagaimana disebutkan dalam RPJMN 2020 – 2024 dan telah dilaksanakan sejak tahun 2009. KLHK secara konsisten dibuktikan dengan penghargaan dari Presiden Republik Indonesia berupa Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Pratama pada tahun 2011, APE Madya pada tahun 2013, APE Utama pada tahun 2015, dan APE Mentor (tertinggi) pada tahun 2018. Sebagai penerima penghargaan pada katagori APE Mentor, KLHK bertanggung jawab untuk menjadi penggerak dan tauladan pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang lingkungan hidup dan bidang kehutanan.
ISU GENDER DI BIDANG KEHUTANAN
Masyarakat sekitar hutan pada umumnya memerlukan pendampingan untuk dapat memanfaatkan kesempatan yang diberikan Pemerintah. Kesempatan ini meliputi ak kelola hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat. Pada kenyataannya kelompok masyarakat yang memanfaatkan kesempatan ini didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini disebabkan oleh budaya masyarakat yang masih patriarkis, di mana laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga. Akibatnya, kaum perempuan belum mendapatkan hak yang sama termasuk akses, partisipasi, manfaat dan kontrol. Bahkan, para orang tua tunggal perempuan juga menghadapi kesulitan untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Oleh karena itu, perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, terutama kaum perempuan dalam memanfaatkan kesempatan hak kelola hutan.
Beberapa isu gender yang muncul di lapangan terkait dengan kegiatan bidang kehutanan diantaranya:
- Kegiatan pembuatan kebun bibit rakyat (KBR)
Pemerintah memberikan bantuan dana sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) kepada setiap kelompok tani. Selain itu, pemerintah juga memberikan bimbingan teknis untuk membantu kelompok tani dalam menyediakan bibit secara mandiri. Meskipun kegiatan ini terbuka bagi semua gender, namum pada kenyatannya menunjukkan bahwa kelompok tani yang memanfaatkan adalah kelompok tani laki-laki. Meskipun demikian, perempuan masih terlibat dalam kegiatan ini meskipun tidak sebagai pengambil keputusan. - Pemerintah memberikan kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk memperoleh hak pengelolaan hutan, baik itu Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, maupun Hutan Produksi. Namun, pada kenyataannya menunjukkan bahwa hamper semua kelompok masyarakat yang memperoleh hak kelola tersebut dipimpin oleh laki-laki. Keseimbangan partisipasi laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan hutan belum tercapai karena budaya masyarakat yang masih kuat, selain itu kegiatan di bidang kehutanan masih diangkap lebih pantas untuk kaum laki-laki. Oleh karena itu perlu adanya upaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan dan mengubah budaya masyarakat yang masih patriarkis.